Rusaknya Riba dan Kewajiban Umat Islam untuk Meninggalkannya

Rusak dan haram riba

Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ – ٢٧٥

يَمْحَقُ اللّٰهُ الرِّبٰوا وَيُرْبِى الصَّدَقٰتِ ۗ وَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ اَثِيْمٍ – ٢٧٦

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ – ٢٧٧

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ – ٢٧٨

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ – ٢٧٩

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ – ٢٨٠

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ – ٢٨١

Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Siapa pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Siapa yang mengulangi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. Allah menghilangkan (keberkahan dari) riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang sangat kufur lagi bergelimang dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan salat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang mukmin. Jika kamu tidak melaksanakannya, ketahuilah akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi, jika kamu bertobat, kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya). Waspadalah terhadap suatu hari (kiamat) yang padanya kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.” (QS. Al-Baqarah 2:275-281)

Berbeda dengan sedekah, riba adalah sesuatu yang menyeramkan dan keji. Sedekah adalah pemberian dan kelapangan dada, kebersihan dan kesucian, tolong-menolong dan solidaritas. Sedangkan, riba adalah kebakhilan, kekotoran, kerakusan, dan mementingkan diri sendiri. Sedekah adalah memberikan harta tanpa mengharapkan imbalan dan balasan. Sedangkan, riba adalah pelunasan utang dengan disertai tambahan yang haram dan diambil dari tenaga yang berutang atau dagingnya. Dari tenaganya jika yang bersangkutan memutar harta yang dipinjamnya lantas mendapatkan keuntungan sebagai hasil usaha dan tenaganya. Dari dagingnya, jika yang berutang itu tidak mendapat keuntungan atau malah rugi karena dia meminjam uang itu untuk menafkahi diri dan keluarganya yang notabene tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Karena itu, riba adalah kebalikan dari bentuk sedekah. Riba adalah wajah (bentuk muamalah) yang menyeramkan dan kejam.

Oleh karena itu, susunan ayat-ayat ini membeberkannya secara langsung sesudah memaparkan jenis yang baik, mudah, suci, bagus, dan penuh kasih sayang. Dipaparkannya dengan paparan yang menjadikan orang berlari darinya, dengan mengungkapkan keburukan dan kekejian yang terdapat dalam perbuatan riba. Diungkapkan pula kekeringan yang timbul di dalam hati, kejahatan dalam masyarakat, kerusakan di muka bumi, dan kehancuran bagi manusia.

Tidak ada penjelekan suatu perkara dari kebiasaan jahiliah yang hendak dibatalkan oleh Islam seperti penjelekan terhadap riba ini. Dan, tidak ada ancaman baik dalam lafal (kata-kata) maupun makna yang lebih keras daripada ancaman terhadap masalah riba, seperti dalam ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain. Allah memiliki kebijaksanaan yang tinggi dalam hal ini.

Riba pada zaman jahiliah telah menimbulkan banyak kerusakan dan kejahatan. Akan tetapi, dampak yang amat buruk dengan wajah yang menyeramkan ini tidak semuanya tampak pada masyarakat jahiliah sebagaimana yang tampak pada hari ini dan pada dunia sekarang ini. Juga tidak semua bisul dan boroknya tampak seperti pada masyarakat modern sekarang ini.

Ancaman menakutkan yang tampak dalam ayat-ayat ini terhadap sistem yang keji itu, pada masa sekarang terungkap hikmahnya pada kenyataan yang menyedihkan dalam kehidupan kemanusiaan. Lebih keras terungkapnya daripada pada zaman jahiliah pertama. Barangsiapa yang merenungkan hikmah Allah dan kebesaran agama ini, serta kesempurnaan sistem dan kehalusan tata aturannya, niscaya ia sekarang dapat memahami apa saja yang belum dipahami oleh orang-orang yang menghadapi nash-nash ini pada pertama kalinya. Kenyataan yang ada di hadapannya sekarang membenarkan setiap kata dengan pembenaran yang hidup, langsung, dan nyata.

Manusia sesat yang memakannya atau memberi makan riba kepada orang lain, berarti ia menimbulkan berbagai bencana atas dirinya yang menghilangkan berkah dan membinasakannya lantaran memberlakukan sistem yang mengandung riba ini, baik terhadap akhlak, agama, kesehatan, maupun ekonominya. Sudah pasti mereka akan diperangi oleh Allah serta ditimpa kemurkaan dan azab, baik perorangan, kelompok, umat, maupun bangsa, kalau mereka tidak mau menerima nasihat ini dan tidak mau sadar.

Sedekah merupakan salah satu kaidah sistem sosial dan ekonomi yang diinginkan Allah bagi masyarakat muslim. Dia menginginkan manusia agar menikmati rahmat yang ada di dalam sistem ini yang merupakan kebalikan sistem lain yang berdiri di atas dasar riba yang jahat, kejam, dan hina.

Keduanya adalah dua sistem yang bertolak belakang, sistem Islam dan sistem riba. Keduanya tidak akan bertemu dalam satu gambaran, tidak akan bertemu dalam satu asas, dan tidak akan bersesuaian dalam akibatnya. Masing-masing berdiri pada pandangan hidup, sasaran, dan tujuan yang saling bertentangan satu sama lain. Maka, hasilnya pun bertentangan secara diametral dalam kehidupan manusia. Karena itu, ia merupakan bencana yang menakutkan dan ancaman yang mengerikan.

Sesungguhnya Islam mendirikan sistem ekonominya dan sistem kehidupan seluruhnya di atas pandangan tertentu yang mencerminkan kebenaran yang nyata di dunia ini. Didirikannya di atas dasar bahwa Allah Yang Mahasuci adalah Pencipta alam semesta. Maka, Dia adalah pencipta bumi dan manusia. Dialah yang memberikan kehidupan kepada setiap makhluk.

Allah SWT, Pemilik semua yang ada karena Dia yang menciptakannya, telah mengangkat jenis makhluk yang bernama manusia di muka bumi ini sebagai khalifah (wakil) dan memberikan kepadanya rezeki, makanan, tenaga, dan kekuatan. Lalu diikat-Nya mereka dengan janji dan syarat tertentu. Dia tidak membiarkan milik yang besar ini dirusak mereka dengan berbuat sekehendak hatinya dan semaunya sendiri. Akan tetapi, Allah menjadikannya khalifah dalam koridor dan batas-batas yang jelas.

Dia menjadikannya khalifah dan pengelola milik-Nya ini dengan syarat agar mereka menegakkan kekhalifahan sesuai dengan manhaj Allah, sesuai dengan syariat-Nya. Maka, segala bentuk transaksi, pekerjaan, muamalah, akhlak, dan ibadah yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan-Nya adalah sah dan berlaku. Sedangkan, segala sesuatu yang berlawanan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan-Nya adalah batil dan harus dihentikan. Apabila tetap dipaksakan untuk dilaksanakan, maka yang bersangkutan telah berbuat zalim dan aniaya. Itu tidak dibenarkan oleh Allah dan orang-orang yang beriman kepada-Nya.

Kedaulatan di bumi, sebagaimana di alam semesta, hanyalah milik Allah saja. Manusia, baik penguasa maupun rakyat, di dalam menjalankan kekuasaannya haruslah dalam rangka menjalankan syariat Allah dan manhaj-Nya, tidak boleh keluar darinya. Karena, mereka hanya wakil-wakil yang diangkat di bumi dengan syarat dan perjanjian tertentu. Mereka tidak memiliki dan menciptakan apa yang ada di tangan mereka berupa rezeki-rezeki.

Di antara pasal-pasal perjanjian itu adalah takaful ‘solidaritas’ antar orang yang beriman kepada Allah. Sehingga, sebagian dari mereka menjadi penolong terhadap sebagian lainnya. Juga agar mereka mengambil manfaat dari rezeki Allah yang diberikan-Nya kepada mereka atas dasar takaful ini, bukan atas dasar kaidah kebebasan mutlak sebagaimana dikatakan oleh Marxisme. Tetapi, atas dasar pemilikan pribadi yang terikat. Maka, barangsiapa di antara mereka yang diberi Allah kemudahan dalam mencari rezeki, ia harus memberikan sebagian hartanya kepada orang yang disempitkan rezekinya (dalam kekurangan).

Di samping itu, semua juga ditugasi untuk bekerja dan berusaha dengan menggunakan segenap kemampuan yang telah diberikan Allah kepadanya, agar tidak seorang pun dari mereka menjadi beban bagi saudaranya atau bagi jamaah, sedangkan dia masih mampu berusaha.

Allah menjadikan zakat sebagai kewajiban tertentu dalam harta dan sedekah sebagai tathawwu’, ‘sunnah’ yang tidak tertentu. Dia juga mensyaratkan kepada mereka agar bersikap wajar dan toleran serta menjauhi sifat boros dan berlebih-lebihan dalam membelanjakan rezeki Allah yang diberikan kepada mereka dan di dalam menikmati rezeki yang baik-baik dan dihalalkan bagi mereka. Karena itu, penggunaan harta itu dibatasi dengan batas-batas kewajaran, dan kelebihan rezeki dikenakan kewajiban zakat dan disunnahkan bersedekah. Apalagi orang mukmin memang dituntut untuk mengembangkan dan memperbanyak hartanya.

Allah juga mensyaratkan kepada mereka bahwa di dalam mengembangkan harta itu jangan sampai mereka mempergunakan cara-cara yang dapat mengganggu orang lain. Juga jangan sampai cara-caranya dapat menghalangi dan menghambat jalannya rezeki di antara manusia. Perputaran harta di tangan orang banyak harus dibuka jalannya dengan seluas-luasnya.

Allah berfirman:

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْ

…(Demikian) agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr 59:24)

Allah juga mengharuskan mereka agar suci dalam niat dan pekerjaan, bersih dalam cara dan tujuan, dan menetapkan beberapa ketentuan di dalam mengembangkan harta yang tidak mengganggu hati individu dan kelompok, atau mengganggu kehidupan jamaah dan keberadaannya.

Semua ini ditegakkan di atas dasar pandangan yang ideal mengenai hakikat realitas dalam alam wujud ini, dan janji yang menentukan segala tindakan manusia yang diangkat sebagai khalifah di muka bumi ini. Karena itu, perbuatan riba merupakan perbuatan yang berbenturan dengan kaidah-kaidah tashawwur imani secara mutlak. Semua nizham ‘sistem’ yang ditegakkan pada pandangan lain adalah pandangan yang tidak memperhatikan Allah lagi. Maka, sistem seperti ini tidak menjaga prinsip, akhlak, dan tujuan yang dikehendaki Allah supaya kehidupan manusia ditegakkan di atasnya.

Pandangan non-imani itu ditegakkan atas prinsip bahwa tidak ada kaitan antara kehendak Allah dengan kehidupan manusia. Maka menurut mereka, manusia adalah tuan bagi bumi ini, dia tidak terikat dengan janji Allah, dan tidak diharuskan mengikuti perintah-perintah-Nya.

Selanjutnya, menurut mereka, manusia bebas menggunakan cara apa saja untuk mendapatkan harta dan mengembangkannya, sebagaimana ia juga bersenang-senang menikmatinya. Manusia tidak berkewajiban melaksanakan janji atau persyaratan dengan Allah, dan tidak merasa berhubungan dengan kemaslahatan orang lain. Dengan demikian, tidaklah diperhitungkan kalau ia mengganggu berjuta-juta manusia apabila dapat menambahkan kepada perbendaharaan dan rekeningnya semua yang dapat ditambahkannya.

Adakalanya hukum-bukum buatan manusia ikut campur dalam membatasi kebebasannya ini pada bagian-bagian tertentu. Misalnya, dalam membatasi jumlah keuntungan dan dalam mencegah berbagai macam penipuan, perampasan, perampokan, pemalsuan, dan bahaya-bahaya lainnya. Akan tetapi, tindakan campur tangan ini kembali kepada apa yang menjadi kecenderungan manusia sendini dan bimbingan hawa nafsu mereka, bukan kembali kepada prinsip yang telah ditetapkan oleh Allah.

Demikianlah manusia di atas pandangan yang salah dan rusak. Yaitu, suatu pandangan bahwa puncak tujuan keberadaan manusia adalah untuk mendapatkan harta dan kekayaan dengan jalan apa pun serta bersenang-senang dengannya menuruti selera hawa nafsunya. Karena itu, mereka amat rakus untuk mengumpulkan harta dan bersenang-senang dengannya. Untuk mencapainya, mereka menginjak-injak semua prinsip dan tidak menghiraukan kemaslahatan orang lain.

Karena pandangan yang demikian itu maka pada akhirnya lahirlah suatu peraturan atau sistem yang menyebabkan kebinasaan dan kesengsaraan bagi kehidupan manusia, baik secara perseorangan, masyarakat, bangsa, maupun dunia internasional. Karena kemaslahatannya dicabut oleh tukang-tukang riba yang merusak akhlak, jiwa, dan saraf, serta perputaran keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, sebagaimana yang terjadi pada masa belakangan ini, semua itu menyebabkan terfokusnya kekuasaan dan pengendalian kerja di tangan segolongan manusia yang paling tak bermoral dan paling jahat. Juga di tangan segolongan kecil manusia yang tidak mau memelihara perdamaian dan perlindungan di antara sesamanya, serta tidak menghiraukan perjanjian dan kehormatan.

Mereka itulah orang-orang yang mengutangi masyarakat secara perorangan sebagaimana mereka mengutangi pemerintah-pemerintah dan bangsa-bangsa di dalam negeri maupun di luar neger. Untuk pembayarannya, mereka menyedot tenaga, keringat, dan darah manusia, dengan mengeruk bunga-bunga ribawi tanpa mencurahkan tenaga sedikit pun.

Mereka tidak memiliki harta saja, melainkan juga memiliki pengaruh. Karena mereka tidak memiliki prinsip, akhlak, dan pandangan keagamaan atau moralitas secara mutlak, dan bahkan karena mereka menertawakan agama, akhlak, contoh-contoh keteladanan, dan prinsip prinsip yang luhur, maka dengan kondisinya yang seperti itu mereka mempergunakan pengaruhnya yang besar untuk membuat undang-undang, ide-ide, dan proyek-proyek yang memungkinkan mereka menambah eksploitasi, dan tidak berhenti di jalan ketamakan serta kerendahan tujuan mereka.

Cara yang dianggap paling efektif adalah menghancurkan akhlak manusia dan menjerumuskannya ke dalam kolam keruh yang berupa kelezatan-kelezatan dan syahwat. Untuk keperluan itu, banyak orang yang menghabIskan uangnya demi memasuki jebakan yang dipasang.

Hal itu terjadi bersama kacaunya jalannya perekonomian dunia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka yang tertentu, meskipun akan menimbulkan bahaya besar dalam bidang ekonomi sebagaimana yang sudah populer, dan akan menyebabkan menyimpangnya produksi perusahaan dan perekonomian secara total dari ha-hal yang membawa kemaslahatan masyarakat. Semuanya hanya demi kepentingan para konglomerat si tukang riba, yang di tangan merekalah kendali ekonomi internasional berada.

Malapetaka yang terjadi pada zaman modern [padahal pada zaman jahiliah tidak seburuk ini bentuknya] adalah karena rentenir-rentenir [yang pada masa lampau mereka lakukan secara perorangan atau dalam bentuk rumah-rumah harta sebagaimana yang sekarang terwujud dalam bentuk pendiri bank-bank modern] itu telah dapat menggunakan kekuasaannya yang besar dan menakutkan untuk turut campur menyiapkan perangkat-perangkat hukum internasional dan domestik.

Mereka juga menguasai sarana-sarana pengarahan dan iklan-iklan di seluruh belahan bumi, baik melalui surat-surat kabar, buku-buku, perguruan-perguruan tinggi, guru-guru dan dosen-dosen, stasiun-stasiun pemancar, pertunjukan film dan sebagainya. Mereka membentuk opini umum di kalangan masyarakat miskin yang tulang-belulang dan dagingnya telah dimakan oleh rentenir-rentenir itu dan keringat serta darahnya telah diminum di bawah naungan sistem riba.

Opini umum ini mengikuti saja pengarahan buruk dan beracun yang dibuat para renternir itu. Pengarahan itu menyatakan bahwa riba merupakan sistem alami yang masuk akal dan prinsip yang benar dan tidak ada prinsip selainnya bagi pertumbuhan ekonomi, dan berkat sistem inilah maka timbul kemajuan peradaban di dunia Barat. Sedangkan, mereka yang ingin membatalkannya adalah sekelompok orang yang cuma mengkhayal, bukan orang-orang yang suka bekerja. Mereka hanya mengandalkan teorinya ini hanya semata-mata pada teori moral dan ideal yang tidak ada kenyataannya. Teori ini akan merusak seluruh sistem perekonomian kalau sampai ditolerir untuk mencampurinya.

Dari segi ini, mereka yang mengkritik sistem riba cenderung mendapat cemooh dari orang-orang yang sebenarnya adalah korban-korban yang sengsara dari sistem ini. Korban sistem ekonomi dunia itu sendiri, yang menjadikan mereka sebagai sasaran perang gerilya para rentenir dunia dengan memberlakukan sistem yang tidak alami dan tidak sehat itu. Para pengkritik itu menghadapi goncangan-goncangan memusingkan yang sudah dirancang secara sistematis dan dijauhkan agar tidak memberikan manfaat kepada manusia secara menyeluruh. Bahkan, mereka menjadi mangsa anjing-anjing pemburunya.

Sesungguhnya, sistem riba adalah sistem yang tercela dari segi ekonomi murni. Sebagian ekonom Barat sendiri telah memperingatkan buruk dan tercelanya sistem riba itu. Padahal, mereka dulu dibesarkan di bawah naungan sistem ini. Pikiran dan kebudayaan mereka telah dicekoki dengan racun yang ditebarkan oleh para pemilik modal itu pada semua cabang kebudayaan, pola pikir, dan moral. Di antara para ekonom yang mencela sistem ini dari segi ekonomi murni adalah Dr. Schacht, seorang berkebangsaan Jerman mantan Direktur Bank Reicht.

Di antara yang dikatakannya dalam salah satu ceramahnya di Damsyik, Syiria, tahun 1953 adalah, dengan perhitungan matematis (tak terhingga) menjadi jelas bahwa semua harta di bumi akan menjadi milik sejumlah kecil rentenir. Hal itu disebabkan rentenir yang memberikan pinjaman selalu beruntung, sedangkan orang yang berutang bisa mendapat untung dan bisa merugi. Dengan demkian, harta itu pada akhirnya harus [menurut perhitungan matematis] menjadi milik orang yang selalu mendapat untung. Teori ini sedang dalam proses untuk mencapai wujud yang sempurna.

Sebagian besar harta di bumi sekarang ini sebenarnya dimiliki oleh beberapa ribu orang saja. Ada pun seluruh pengusaha dan pemilik pabrik-pabrik yang mendapat pinjaman dari bank-bank dan para buruh serta lain-lainnya, maka mereka itu tidak lain hanyalah orang-orang upahan yang bekerja bagi kepentingan para pemilik modal. Buah dari jerih payah mereka dipetik oleh beberapa ribu orang itu.

Bukan ini saja kejahatan yang ditimbulkan oleh riba. Sesungguhnya, ditegakkannya sistem ekonomi di atas dasar riba menyebabkan hubungan antara pemilik modal dan para buruh dalam perdagangan dan industri sebagai perjuangan dan pertentangan yang terus-menerus. Karena, rentenir berdaya upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena itu, ia menahan uangnya hingga bertambahlah kebutuhan perdagangan dan industri kepadanya dan jumlah keuntungan pun meningkat.

Para rentenir terus meningkatkan bunganya. Pada saat seperti inilah para pengusaha di perniagaan dan pabrik-pabrik beranggapan bahwa tidak ada gunanya bagi mereka menggunakan uang ini. Karena, mereka tidak sanggup membayar bunga dan tidak ada keuntungan dari uang itu bagi mereka.

Pada saat yang demikian, jumlah uang yang dipakai menjadi berkurang dalam bidang-bidang yang di sana bekerja berjuta-juta orang. Pabrik-pabrik menurunkan produksinya dan para buruh menganggur. Maka, daya beli pun merosot.

Apabila demikian keadaannya dan para rentenir mendapati bahwa permintaan akan modal telah berkurang atau berhenti, mereka pun menurunkan suku bunga secara terpaksa. Maka, mulai kembali lah orang-orang bekerja di perusahaan-perusahaan dan dalam bidang perdagangan. Roda kehidupan pun kembali berputar.

Demikianlah berkali-kali terjadi krisis ekonomi berkala secara internasional dan tetaplah manusia berputar-putar dalam krisis-krisis itu seperti hewan yang berkeliaran.

Selanjutnya, semua konsumen membayar pajak secara tidak langsung kepada para rentenir. Hal ini terjadi karena para pemilik perusahaan-perusahaan dan pedagang-pedagang tidak membayar keuntungan modal yang mereka pinjam dengan riba kecuali dari kantong-kantong para konsumen. Caranya, mereka menambahkan harga pada tiap-tiap barangnya. Dengan demikian, jelas kenaikan harga dibebankan kepada konsumen hingga akhirnya masuk ke dalam kantong para rentenir.

Adapun utang-utang yang dipinjam oleh pemerintah dari bank-bank untuk berbagai perbaikan dan proyek-proyek pembangunan, maka sesungguhnya rakyatlah yang membayar keuntungannya bagi bank-bank. Karena pemerintah membutuhkan tambahan pajak yang bermacam-macam untuk membayar pinjaman-pinjaman dan bunganya itu. Dengan demikian, setiap orang ikut serta dalam membayar pajak untuk para rentenir pada akhirnya. Jarang sekali urusan ini hanya sampai di sini. Tidak jarang bahwa dengan pinjaman ini ujung-ujungnya adalah penjajahan. Selanjutnya terjadilah peperangan disebabkan adanya penjajahan tersebut.

Sumber: Tafsir Fi Zhilalil Qur’an oleh Sayyid Quthb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *