“Jika amanah sudah disia-siakan tunggulah kedatangan hari Kiamat.” Maka seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bagaimanakah cara menyia-nyiakan amanah tersebut?” Beliau menjawab, “Jika suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya (hari Kiamat tiba).” (HR. Bukhari)
Hadits di atas mengisyaratkan adanya dua pertanda yang saling berkaitan dan sama-sama menjadi tanda hari Kiamat, yaitu menyia-nyiakan amanah dan menyerahkan suatu perkara kepada orang yang bukan ahlinya. Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa tanda yang terakhir merupakan akibat dari yang pertama.
Dicabutnya sesuatu atau diangkatnya kemuliaan dari diri manusia merupakan akibat dari perbuatan manusia itu sendiri, dan ini merupakan suatu hal yang telah diketahui oleh semua manusia. Manusia telah dimuliakan dan karena kemuliaannya itu dia layak untuk menerima tugasnya yang sesuai. Namun apabila manusia lalai terhadap tugasnya dengan tidak melaksanakan apa yang telah menjadi kewajibannya, atau dia ditempatkan pada tempat yang tidak sesuai dengan keahliannya, maka Anda akan melihat sendiri manusia seperti itu akan tercerabut dengan sendirinya dari kemuliaan yang dia sandang selama ini. Allah berfirman:
وَمَا ظَلَمْنٰهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ
“Kami tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri sendiri.” (QS. An-Nahl: 118)
“Rasulullah mengabarhan kepada kami dua perkara yang salah satunya telah aku buktikan, sedangkan yang satunya lagi masih aku tunggu kejadiannya. Pertama, Rasulullah SAW mengabarkan bahwasanya sikap amanah itu terletak di hati manusia yang paling dalam. Kemudian mereka mengetahuinya melalui Al-Qur’an yang selanjutnya mereka juga mengetahuinya dari As-Sunnah. Kedua, Rasulullah juga mengabarkan bahwa sikap amanah akan dicabut ketika seseorang sedang tidur. Maka, pada saat itulah amanah dicabut dari hatinya hingga tinggallah bekasnya itu seperti noda yang berwarna. Kemudian orang tersebut tidur lagi, dan dicabutlah amanah dari dalam hatinya (sehingga bekasnya seperti bekas lecet di tangan yang melepuh karena mengangkat beban terlalu berat) atau seperti bekas bara yang terinjak oleh kakimu sehingga telapak kakimu melepuh sedangkan di dalam luka lepuhan tersebut tidak terdapat apa-apa. Seperti itulah manusia nanti, banyak orang telah membaiatnyd namun setelah dia menjadi pemimpin dia tidak melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya itu dengan baik. Pada masa itu orang-orang menggembar-gemborkan bahwa di Bani Fulan terdapat orang yang dapat dipercaya, “Alangkah cerdiknya dia, alangkah lihainya dia, dan alangkah piawainya dia.” Padahal sedikitpun dalam hati orang yang dielu-elukannya itu tidah terdapat secercah sikap amanah dan keimanan. Sungguh telah datang kepadaku suatu masa di mana aku tidak peduli lagi kepada siapa di antara kalian aku akan melakukan transaksi jual-beli. Jika orang yang kuajak transaksi itu adalah seorang muslim, maka keislaman akan mencegahnya (dari khianat), dan jika dia adalah orang Nasrani, maka pejabat pemerintah mencegahnya (dari khianat). Adapun sekarang ini, aku tidak mau bertransaksi becuali dengan si fulan dan si fulan.” (HR. Bukhari)
Para ulama berbeda interpretasi mengenai makna amanah yang terdapat dalam hadits di atas, berikut ini adalah beberapa interpretasi mereka:
- Amanah adalah segala hal yang tidak diketahui oleh manusia terkait seorang mukallaf, kecuali Allah saja.
- Amanah adalah semua kewajiban yang diperintahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya serta semua larangan yang harus dijauhi oleh mereka, atau pembebanan dari Allah dan ketaatannya para hamba.
- Amanah adalah perjanjian yang diambil dari seorang hamba ketika mereka berada di alam azali.
- Amanah adalah iman yang bersemayam di hati. Jika iman tersebut lurus niscaya dia akan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
- Amanah adalah sikap perilaku yang bertentangan dengan sikap khianat.
Perbedaan interpretasi ini disebabkan oleh aspek yang mereka tinjau dari berbagi sudut yang berbeda. Sebagian di antara mereka ada yang terfokus pada sisi pengertian secara bahasa, sehingga ulama yang menempuh cara ini akan menghadirkan lawan kata dari sifat amanah tersebut, yaitu khianat. Sementara para ulama lain yang melihat pada akibat yang timbul dari keberadaan sikap amanah pada diri seseorang sehingga memberikan interpretasi bahwa sikap amanah sebagai bentuk ketaatan seorang hamba kepada Al-Khalik. Di sisi lain, ada juga yang melihatnya dari segi bahwa amanah merupakan isi perjanjian antara Allah dan anak-turun Adam ketika mereka masih berada di tulang sulbinya.
Hadits di atas merupakan dua hadits yang sama-sama didengar oleh Hudzaifah dengan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut.
Pertama, Nabi Muhammad mengisyaratkan kepadanya (Hudzaifah) bahwa amanah akan turun di lubuk hati manusia yang paling dalam atau yang sering disebut ruhul iman. Dengan persiapan yang diberikan kepada manusia ini, seseorang menjadi layak untuk mengemban amanah yang diberikan kepadanya. Jika hal ini dilanjutkan dengan diturunkannya Al-Qur’an yang membawa hukum dan kewajiban yang dibebankan kepada manusia yang dalam kelanjutannya hal tersebut dijelaskan lagi dalam As-Sunnah. Inilah yang disaksikan oleh Hudzaifah pada diri para sahabat Rasulullah.
Hadits kedua menunjukkan bahwa sifat amanah dapat dicabut dari hati manusia karena mereka terlalu memperturutkan hawa nafsu dan tergoda oleh dunia. Proses ini sebagaimana yang diceritakan dalam hadits tersebut, melalui beberapa tahapan, yang dalam hal ini digambarkan bahwa dalam setiap tahapan tersebut akan meninggalkan bekas. Hadits tersebut juga menggambarkan bahwa pencabutan amanah diilustrasikan secara konkret, yaitu pada saat seorang hamba tidur dan disertai adanya bekas yang tertinggal. Proses ini setidaknya dapat dilihat dalam dua tahapan berikut:
- Pencabutan amanah dengan sedikit menyisakan bagiannya di dalam hati manusia. Hal ini diredaksikan dalam hadits tersebut dengan al-wikt, yaitu bekas dari sesuatu yang dicabut dan hanya meninggalkan warnanya saja.
- Warna yang masih tersisa itu kemudian benar-benar hilang dari dalam hati.
Kedua, dari hadits di atas juga diberitakan bahwa proses pencabutan tersebut terjadi sejenak setelah seseorang tertidur. Tentunya kita semua sudah tahu, bahwa di saat orang sedang tidur kondisinya sama dengan orang mati. Bahkan Rasulullah menyabdakannya (dalam beberapa riwayat hadits) dengan mati atau kematian kecil. Sebagaimana yang sudah banyak diketahui, pada saat tidur ruh manusia terlepas dari raganya dengan menyisakan sebagiannya tetap terhubung dengan jasad.
Ketiga, dari hadits tersebut juga dapat ditarik sebuah pengertian bahwa gejala berkurangnya sikap amanah ini mulai terjadi pada generasi awal umat Islam sebagaimana yang tersirat dalam redaksi hadits tersebut. Menjelang akhir hayatnya, Hudzaifah mulai meragukan tingkah laku orang-orang di sekitarnya, sampai-sampai dia tidak mau melakukan persahabatan setia dan jual beli kecuali dengan fulan atau fulan, yaitu hanya orang-orang tertentu saja yang jumlahnya sedikit.
Jika Hudzaifah saja sudah mulai resah dengan dicabutnya amanah dari hati manusia, padahal mereka itu masih begitu dekat dengan masa Rasulullah, lantas bagaimana halnya dengan kondisi kita sekarang ini? Jarak zaman dengan sumber wahyu sudah teramat jauh, nilai sudah banyak yang berubah, belum lagi fenomena kemungkaran yang terjadi di mana-mana. Ini semua menunjukkan bahwa di masa sekarang ini, tercabutnya amanah merupakan pertanda hari Kiamat yang benar-benar nyata di hadapan kita.
Keempat, pada hadits yang kedua terkandung sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa parameter yang dipakai manusia dalam menilai sesuatu atau orang sudah mulai longgar. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar manusia sudah mulai rusak moralnya. Oleh karena mereka telah rusak moralnya, maka pemerintahan yang memimpin mereka pun juga rusak. Maka sekarang ini sering kita jumpai sekelompok manusia yang mengelu-elukan seorang tokoh serta menempatkan dirinya sebagai orang yang paling pintar dan paling cerdik, padahal dalam diri orang tersebut setitik pun tidak terdapat keimanan di dalam hatinya. Di masa itu iman bukan lagi dijadikan sebagai patokan dalam menilai seseorang. Sekarang ini pertandanya sudah begitu marak di tengah-tengah masyarakat kita. Kita semua merasakan bahwa parameter yang dijadikan pedoman untuk menilai seseorang pada masa sekarang ini bukan lagi kadar keimanan.
Sumber: Ensiklopedi Akhir Zaman karya Syaikh Muhammad Ahmad Al-Mubayyadh