Kehati-hatian Seorang Ibu terhadap Hartanya

Seorang ibu datang kepada Imam Ahmad bin Hambal untuk meminta fatwa mengenai pengalaman yang baru saja dialaminya. Dengan wajah bimbang, ia bertanya,

“Wahai pelita umat Islam, sesungguhnya saya ini perempuan tak punya. Saking melaratnya, sampai lampu untuk menerangi rumah pun kami tak punya. Karena pada siang hari saya harus mengurus pekerjaan rumah, maka saya mencari makan untuk kami sekeluarga pada malam hari.

Yang dapat saya lakukan untuk menopang kami sekeluarga adalah dengan merajut benang. Rajutan benang itu yang akan saya jual ke pasar. Untuk melakukan pekerjaan itu, biasanya saya menunggu bulan purnama, karena cahayanya cukup untuk menerangi kegiatan merajut benang,” ungkapnya kepada Imam Ahmad bin Hambal.

“Akan tetapi suatu ketika, lewatlah serombongan kafilah di depan rumah saya pada malam buta dengan membawa lampu yang sangat banyak. Maka, tidak saya sia-siakan kesempatan itu. Selagi mereka berdiri di tepi jalan pada saat lewatnya iring-iringan mereka, kesempatan itu saya gunakan untuk memintal beberapa lembar kapas,” lanjut perempuan itu tertunduk.

“Adapun yang saya tanyakan adalah: apakah uang hasil penjualan benang yang saya pintal dalam cahaya lampu milik iring-iringan kafilah itu halal bagi saya?”

Dengan seksama Imam Ahmad bin Hambal mendengarkan perkataan Sang Ibu tadi. Setelah sebuah pertanyaan dilontarkan si Ibu muslimah itu, dalam kekaguman yang tidak dapat disembunyikan, Imam Ahmad balik bertanya, “Siapakah Anda, yang menaruh perhatian terhadap perkara agama sedemikian besarnya di zaman ini, pada saat masyarakat Islam telah dikuasai oleh kelalaian dan kekikiran terhadap harta?”

“Saya adalah saudara perempuan Basyar Al Hafi Rahimahullah,” jawab si ibu, masih dengan kerendahan hatinya.

Mendengar jawaban itu, spontan Imam Ahmad menangis tersedu-sedu. Itu tak lain karena yang baru saja disebut oleh si ibu tadi adalah nama seorang gubernur yang saleh dan mutashawwir yang lurus hati. Beberapa saat kemudian Imam Ahmad terdiam dan belum dapat menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya itu. Ia sibuk berdoa memohonkan rahmat atas gubernur yang shalih dan terus memujinya.

Beberapa saat kemudian, barulah beliau berkata, “Sesungguhnya kain penutup wajah yang anda kenakan adalah lebih baik daripada sorban-sorban yang kami pakai. Sesungguhnya kami ini tak patut jika dibandingkan dengan orang-orang tua yang telah mendahului kita, ya Sayyidati. Sedangkan anda, ya Sayyidati, perempuan yang demikian luhur takwanya dan rasa takutnya kepada Allah SWT. Tentang pertanyaan yang anda ajukan, sebenarnya, tanpa ijin rombongan kafilah itu, tidak halallah bagi anda uang hasil penjualan benang tersebut.”

Sumber: Majalah Sabili

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *