Syaikh Yusuf al-Maqassari

Khairun naas anfa uhum fin naas, begitu kata Rasulullah. Sebaik-baik manusia adalah manusia yang banyak membawa manfaat untuk manusia lainnya. Seharusnya kalimat itu kita jadikan pertanyaan yang diulang-ulang dalam kehidupan. Selalu kita ulang setiap bangun pagi. Manfaat apa yang bisa kita berikan pada manusia hari ini?

Syaikh Yusuf al-Maqassari, betapa banyak manfaat yang telah diberikan olehnya kepada siapa saja yang berada di sekitarnya. Itu semua tak lepas dari betapa kuat pula niatnya menuntut ilmu. Syaikh Yusuf muda, 22 September 1645, untuk pertama kalinya melangkahkan kaki dengan niat menjenguk Baitullah, berhaji ke tanah suci. Dalam perjalanannya, ia banyak berguru dan menimba ilmu. Banten dan Aceh menjadi saksi tempat perjalanannya bermula.

Sejarah mencatat hampir 20 tahun ia mengembara dan menimba ilmu. Seluruh jazirah Arab, hingga Yaman ia tapaki untuk mencari ilmu. Dan tatkala niatnya untuk kembali ke kampung halaman, Belanda telah mengangkangi tanah kelahiran. Dan Banten menjadi pilihan kedua. Di negeri ini, bersama Sultan Ageng Tirtayasa ia bahu-membahu melawan penjajah. Sultan Ageng, sahabatnya, memberikan amanah untuk menjadi mufti pula.

Tapi sayang, keduanya tak lama bersama. Kudeta politik sang anak yang didukung oleh Belanda, membuat Sultan Ageng ditawan. Dan perjuangan diteruskan oleh Syaikh Yusuf. Bergerilya memimpin ribuan orang untuk berjuang. Tapi itu pun tak lama, ia akhirnya tertawan dan dibuang ke Sri Lanka. Itu berarti babak baru perjuangan. Di negeri buangan ini, karena ilmunya, Syaikh Yusuf tetap menjadi magnet. Menarik para musafir dan para jamaah haji yang singgah untuk belajar dan mengambil manfaat darinya. Di tempat pembuangan ini pula Syaikh Yusuf menelurkan karyanya tentang jihad melawan penjajah, lewat tangan para jamaah haji beredar dengan cepatnya.

Tak kuasa membendung manfaat yang muncul dari seorang Syaikh Yusuf, akhirnya Belanda kembali membuang ulama pejuang ini lebih jauh lagi. Afrika Selatan menjadi tujuannya kini. Tapi di benua hitam ini, namanya hingga kini bisa kita lacak. Sebuah tanda dan bukti telah ada bahwa Syaikh Yusuf tak pernah lelah menebar manfaat. Maka tak berlebihan jika ia mendapat gelar di benua tersebut, Tuanta Salamaka, Guru Kami yang Agung.

Kemuliaan tak pernah datang lewat tahta atau harta. Sama sekali tak pernah. Tahta dan harta hanya pemain figuran belaka. Kemuliaan bermula dari ilmu yang mengalir menjadi manfaat dan bermuara pada kehidupan yang gemerlap. Tidak gemerlap di depan mata manusia, tapi gemerlap dalam pandangan Yang Kuasa.

Sumber: Majalah Sabili

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *